Pengaruh Social Entreprenuership Pada Ketangkasan Organisasional

Munculnya LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia mulai menjamur pascatumbangnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Yang semula berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996, bertumbuh menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Namun keberadaan LSM sering diterpa isu miring, terutama mengenai kurangnya kesadaran dalam hal akuntabilitas dan transparansi dana. Ada dua kategori LSM, pertama LSM yang bergerak dalam bidang community development, menggunakan pendekatan mikro dalam mencoba memecahkan persoalan sosial, seperti mengerjakan projek-projek pengembangan sosial ekonomi pedesaan. Kedua, LSM yang bergerak dalam bidang advokasi.



Pada dasarnya LSM sebagai sebuah Civil Society dibangun dengan dasar kerelawanan (Voluntary). Setiawan (2000) mengemukakan bahwa sebagai sebuah organisasi, LSM adalah merupakan sebuah civil society organization yang berbentuk nonprofit organization (organisasi nir laba).



Di dalam kalangan LSM sendiri, ada sebagian orang yang menjadikan pekerjaan di LSM sebagai sebuah profesi, namun di sisi lain ada juga yang menganggap LSM bukan jalur profesi, melainkan kesadaran untuk berkontribusi pada perubahan sosial dan lebih berprinsip kesukarelawanan. Basil dan Runte (2008) mengemukakan bahwa semangat kerelawanan yang nampak selama bekerja terlihat lebih sedikit daripada sebuah aktivitas relawan dan lebih pada pekerjaan yang bersifat kerelawanan, dibandingkan dengan kerelawanan setelah kerja. Tingginya tingkat keterlibatan relawan perlu dikombinasikan ke dalam mental kerelawanan yang merupakan salah satu bentuk motivasinya. Penelitian tersebut juga menunjukkan hasil bahwa tingkat keterlibatan relawan juga mempengaruhi kecenderungan untuk meningkatkan waktu pribadi lebih banyak dalam berpartisipasi.



Sifat kepedulian individu terhadap sesama yang tinggi dan kesadaran akan keterbatasan kemampuan yang mereka miliki sehingga individu tidak dapat memenuhi kepentingan primer sendirian tanpa bantuan orang lain merupakan salah satu penyebab terbentuknya kelompok relawan. Menurut Soekanto (2006) kelompok relawan adalah kelompok yang mencakup orang-orang yang mempunyai kepentingan sama di mana terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak terpenuhinya, namun tidak mendapatkan perhatian masyarakat yang semakin luas daya jangkaunya. Kelompok-kelompok relawan akan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan anggotanya secara individual, tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara umum.



Mengapa banyak LSM ini yang tidak mampu bertahan? Mengapa banyak relawan yang semula bergabung kemudian menjadi pasif dan tidak lagi secara proaktif melakukan upaya-upaya sosial atau bahkan berhenti melakukan aktvitas kerelawanannya? Masalah ini banyak dihadapi oleh LSM sehingga menyebabkan berhentinya kegiatan dan kurang efektifnya hasil program yang dilakukan atau yang semula direncanakan.



Pada umumnya banyak konsultan manajemen yang melakukan penilaian terhadap potensi sebuah LSM dengan menggunakan analisis SWOT. Rajasekaran (2009) melakukan analisis SWOT terhadap Non-Governmental Development Organizations di India. Model analisis ini meliputi pengukuran kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Analisis semacam ini juga sering dilakukan oleh banyak LSM karena sistem analisis ini sangat populer. Penerapannya di berbagai bentuk organisasi atau berbagai skenario, memerlukan fleksibilitas, yang kalau tidak dipenuhi, bisa mengarahkan pada sejumlah anomali.

Bernard Enjolras (2000) melakukan penelitian tentang kegagalan koordinasi pada organisasi nir laba. Kegagalan koordinasi ini bisa berupa kesalahan kontrak, hubungan yang kurang efektif dengan pihak pemerintah dabn pemberi donor (filantrofis) yang merupakan stakeholder dari LSM. Kegagalan organisasi bisa mengakibatkan masalah bagi LSM. Salah satu kegagalan misalnya diperlukan ketika diperlukan kompromi antara ideologi organisasi dengan keinginan pemberi donor.

Sejumlah permasalahan pada LSM bisa berakibat pada keberlangsungan kehidupan organisasi itu sendiri. Berbeda dengan organisasi profit yang umumnya memiliki kepemilikan, seringkali LSM dikelola oleh orang-orang yang tidak dibayar (pengurus yayasan secara undang-undang tidak boleh menerima bayaran), sementara mereka harus berupaya agar organisasi memiliki kelangsungan hidup yang berkelanjutan. Untuk ini diperlukan semangat kewirausahaan, mirip di organisasi profit, namun berbeda dari sudut pandangnya, sehingga dalam LSM disebut dengan istilah kewirausahaan sosial (social entrepreneurship).



Download Artikel untuk Baca Selengkapnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.