STRATEGIC SERIES: Unique Value

Kemampuan perusahaan dalam menciptakan keselarasan antara kepentingan Konsumen, Masyarakat dan Perusahaan akan menghasilkan strategi yang harmonis, namun menuntut perusahaan memiliki resource-base yang bagus, hal yang senada diungkapkan oleh Duysters and Hagedoorn (1996) In recent years the resource-based theory of the firm (Wernerfelt, 1984 and 1995) and related contributions (e.g. Teece, 1996; Rumelt, 1984; Barney, 1986) focus on the importance of understanding company performance as a result of the efficient use of unique company capabilities that create sustained performance differentials within industries, sehingga dengan demikian kita harus bisa menciptakan suatu nilai yang berbeda dan unik di mata konsumen maupun pesaing untuk bisa memenangkan persaingan yang ada.



Hrebiniak dalam Making Strategy Work (2005) berargumen, untuk mewujudkan strategi yang berhasil lebih susah dibandingkan dengan membuatnya. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu kesamaan konsepsi mengenai strategi korporate agar upaya restrukturisasi, re-fokus, rasionalisasi dan rekayasa organisasi menjadi tepat aksi dan tepat sasaran.



Uraian di atas secara implisit menunjukkan adanya tiga faktor penting dalam strategi perusahaan. Pertama berkaitan dengan penciptaan nilai (value creation) sebagai tujuan utama strategi perusahaan. Faktor kedua berhubungan dengan konfigurasi berbagai sumber daya yang ada guna menunjang usaha (venture) pada berbagai lingkup bisnis, dan faktor ketiga terkait dengan bagaimana perusahaan mengkoordinasikan semua aktivitas bisnisnya dalam hirarki korporasi untuk mewujudkan penciptaan nilai. Tiga serangkai (value, konfigurasi, dan koordinasi) penting dipahami oleh eksekutif bisnis.



Argumen lain yang mendukung pentingnya penciptaan nilai dalam strategi perusahaan diajukan oleh Hubbard (2000), namun alasan yang mendasarinya sedikit berbeda. Secara agregat, strategi perusahaan harus menghasilkan value yang lebih tinggi dibandingkan dengan value yang dimiliki semua unit bisnis jika secara terpisah dijumlahkan. Jika value yang dihasilkan dari strategi perusahaan lebih kecil dari penjumlahan value dari semua unit bisnis, Hubbard mengatakan, tidak ada alasan kuat untuk menggabungkan unit – unit bisnis tersebut, atau dapat pula dikatakan strategi perusahaan tidak berfungsi dengan baik. Dalam penciptaan nilai, kata kuncinya adalah sinergi (De Wit dan Meyer, 2005). Namun itupun tidak cukup, karena value yang dihasilkan dari sinergi unit bisnis ini masih harus diuji dengan value yang dimiliki oleh kelompok – kelompok usaha lainnya (Porter, 1998).



Jika demikian, ada dua permasalahan yang perlu dicermati; bagaimana membangun strategi perusahaan, dan sekaligus melaksanakannya agar berhasil. Menjawab yang pertama, ada banyak model yang pernah dibangun, satu dengan lainnya saling melengkapi atau sebaliknya berbeda sama sekali bahkan ada yang berlawanan cara pandangnya. Hal ini terjadi karena penekanan masing – masing model berbeda, sebagai contoh Ansoft (1965) dan Andrew (1971) berada pada satu kubu ketika mereka mengajukan Concept of Corporate Strategy yang menekankan pentingnya peran manajer umum (general managers) dalam pengembangan strategi perusahaan.



Sebaliknya, pada periode yang hampir bersamaan Chandler (1962), Bower (1970), dan Vancil (1978) mengemukakan konsep strategi perusahaan menggunakan pendekatan struktur organisasi. Kontribusi pemikiran mereka yang hingga kini masih banyak dianut adalah “structure follows strategy”. Collis dan Montgomery (2005) melalui Resourse-Based View (RBV) mengajukan model Segitiga Strategi perusahaan, yang sisi –sisinya merepresentasikan sumber daya (resources), bisnis, dan organisasi. Di dalam segitiga ini terdapat Visi, Sasaran (goals) dan objektif yang menentukan besaran penggunaan ketiga aspek tadi dalam pergulatannya mencapai keunggulan korporasi (corporate advantage).



Di pihak lain, muncul pemikiran bahwa pembangunan strategi perusahaan merupakan konsekuensi dari aktivitas multi-bisnis atau diperlukan karena adanya diversifikasi usaha (Hubbard, 2000). Dengan demikian, ancangan awalnya adalah memahami alasan – alasan diversifikasi serta memiliki pengetahuan tentang karakteristik berbagai jenis bisnis yang dikelola oleh perusahaan induk. Secara implisit pendekatan Hubbard ini hampir serupa dengan model segitiga-nya Collis dan Montgomery (2005), perbedaannya terletak pada cara pendekatan, Collis dan Montgomery beranjak dari apa saja yang dimiliki korporasi (inside-out approach) sementara Hubbard mengawali dari lingkungan luar yang kemudian menjadi pemicu bagi pengembangan strategi perusahaan (outsidein approach).



Dukungan kepada inside-out approach dalam menciptakan value makin menguat pada dekade pertama di abad milenium ini (Campbell, 2003) sebagaimana dicontohkan Canon ketika mengembangkan produk – produk barunya, ABB ketika menerapkan strategi yang didasari pada keterampilan komersial dan orientasi manajer, serta ”Emerson” yang dalam penciptaan nilai berlandaskan pada penajaman pemikiran strategik dalam pengelolaan sumber daya dan biaya secara efektif dan efesien. .



Nilai pembeda yang unik akan mampu menciptakan keinginan pasar untuk mencoba mengkonsumsi dan menjadikan produk tersebut sebagai alternatif pilihan utama. Untuk itu perusahaan harus menyadari dan mencoba menentukan formulasi produk serta layanan yang cocok bagi konsumen dan calon konsumen Menurut Lovelock dan Wright (2005:131), hubungan yang bernilai terjadi kalau pelanggan tersebut menemukan nilai karena manfaat yang diterima dari penyerahan jasa tersebut melampaui biaya yang terkait untuk mendapatkannya. Hal ini berarti hubungan yang bernilai merupakan perbandingan antara nilai manfaat dengan nilai biaya yang harus dikeluarkan pelanggan untuk mendapatkan produk jasa.



Menurut Remiasa (2005:15), perusahaan dikatakan memiliki keunggulan yang berkesinambungan bila konsumen merasakan perbedaan antara produk suatu perusahaan dan produk perusahaan lainnya, perbedaan tersebut muncul disebabkan gap kapabilitas, dan gap tersebut dapat dipertahankan. Sehingga dalam kaitannya dengan menciptakan gap antara dirinya dengan pesing, perusahaan dituntut dapat menciptakan formula strategi yang memungkinkan terwujudnya supermasi dibanding pesaingnya untuk semua hal yang dapat dirasakan konsumen. Beberapa alternatif strategi mungkin saja dpat dikembangkan, namun penerapan strategi value-based marketing yang mengutamakan peningkatan nilai (customer value) sebagai landasan strategi usaha mencapai target perusahaan dapat dijadikan alternatif utama terutama bagi perusahan jasa.



Maka berdasarkan definisi value-based marketing dari Doyle dalam Soehadi (2002), perusahaan jasa harus melakukan: (1) strategi bauran pemasaran jasa yang berkiblat pada peningkatan customer value, (2) membangun relationship with valued customers, (3) menciptakan sustainable competitive advantage. Mencermati pernyataan diatas bahwa nilai kompetitif harus dibangun oleh semua perusahaan untuk membuat pembeda antara dirinya dengan pesaing yang pada akhirnya dapat mewujudkan peningkatan performance perusahaan itu sendiri.

Akhirnya sesui dengan yang diungkapkan oleh Walker dan Lundberg (2005) :“ a marketing philosophy that patterns the way management and ownership have decided to relate to customers, employee, purveyors and the general public in terms of fairness, honesty, and moral conduct, needed in part because of greater importance being placed on the ethical and moral conduct of business” dengan kata lain bila perusahaan ingin memenangkan persaingan dan menjadi superior dalam strategi pemasaran, hendaknya dapat mengatur resource yang dimiliki secara efektif .



Demikian pula hubungan Unique Value dengan variabel lainnya yang bisa menciptakan superior marketing patut diteliti sebab selama ini perusahaan berusaha menciptakan keunggulan bersaing melalui penciptaan Customer Value yang seperti diharapkan konsumen, namun tidak ada pembeda antara Value yang dikembangkan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya di mana hasilnya akan membuat konsumen tidak bisa melihat keunggulan yang signifikan terhadap masing-masing produk. Untuk itu menjadi menarik bila kita mengkaji seberapa besar pengaruh Unique Value atau nilai pembeda untuk membentuk superior marketing demi menciptakan performance perusahan yang tertinggi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.